logo

logo

Welcome to the Institute for the Study of Law and Muslim Society, an academic entity committed to being a center of excellence in developing legal knowledge and understanding the dynamics of Muslim societies.

Get In Touch

Penetapan Hukum Islam atas  Isu-isu Kontemporer: Signifiknasi Qaidah Fikhiyyah, Ushuliyah, dan Kajian Ilmiah

Penetapan Hukum Islam atas  Isu-isu Kontemporer: Signifiknasi Qaidah Fikhiyyah, Ushuliyah, dan Kajian Ilmiah

Oleh Euis Nurlaelawati

Pada 2021 saya diminta untuk menyusun epilog untuk buku ‘Metodologi Fatwa KUPI’, selanjutnnya MFK, yang ditulis oleh masYai Faqihuddin Abdul Kodir. Senang dan tersanjung, saya menerima tawaran itu. Saya menulisnya, dan isi serta arah tulisan di-approved oleh penulis dan tim KUPI. Epilog yang saya susun kemudian terbit mentutup diskusi buku.

Dalam tulisan tersebut saya menekankan pada bagaimana sebuah ketentuan hukum (Islam) atau pandangan hukum Islam dihasilkan. Saya juga menegaskan bahwa dalam hemat saya sebuah ketentuan hukum disandarkan pada 3 aspek, yaitu, pada pengalaman atau temuan yang dihasilkan dari kajian-kajian ilmiah, pada teori-teori hukum Islam, dan pada pandangan hukum ‘ulama sebelumnya (dalam hal ini ‘ulama klasik yang termuat dalam buku-buku fikih).

Kaitannya dengan aspek pengalaman, saya menyorotinya dengan tajam karena memang MFK menekankan aspek tersebut dalam cara kerja KUPI mengeluarkan pandangan atau fatwa. Saya juga menekankan keterkaitan antara teori-teori hukum Islam (yang dalam kata lain saya sebut kaidah-kaidah fiqhiyyah dan ushuliyah) dengan temuan-temuan akademik. Juga, saya menegaskan signifikansi pandangan-pandangan para ‘ulama klasik (legacy) untuk menjadi bahan pertimbangan. Atau paling tidak (karena konteks yang berbeda antara dulu dan sekarang), spirit para ‘ulama dalam melakukan upaya penggalian sumber hukum dalam memberikan pandangan yang berkeadilan harus dicermati dan dipertimbangkan oleh para pembuat hukum pada masa kontemporer ini.

Problematika Pendekatan dalam Pembentukan Hukum Islam

Dalam Epilog tersebut, merujuk pada pidato pengukuhan Guru Besar saya, saya memaparkan bahwa dari keseluruhan kajian-kajian yang saya lakukan selama ini saya menemukan bahwa terdapat masalah yang sangat fundamental terkait dengan reformasi hukum Islam di Indonesia dan saya merujuk pada hukum keluarga Islam yang juga terjadi di negara-negara Muslim di kawasan lain.

Masalah tersebut berkait dengan metode dan pendekatan pembaruan hukum Islam. Ada kebutuhan besar untuk mengembangkan metode pembaruan hukum Islam yang lebih memadai, mengingat masyarakat Muslim akan sangat sulit menerima pembaruan dan perdebatan akan terus menyeruak jika tidak didukung oleh dasar hukum Islam yang memadai. Saya mengutip apa yang ditegaskan oleh John L. Esposito, bahwa dasar hukum Islam sangat diperlukan untuk memberikan legitimasi dan kekuatan hukum bagi sebuah pembaruan.

Menurut Esposito, bahwa jika pembaruan diharapkan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Muslim dan mampu menyediakan ketentuan hukum yang komprehensif dan mencerahkan secara konsisten, pembaharuan harus dilakukan dan didukung oleh metodologi yang sistematis dan menghadirkan dasar ke-Islam-an-nya.

Terkait isu pendekatan atau metode pembaharuan hukum Islam, kita mengetahui dengan baik bahwa masyarakat Muslim di Indonesia telah diperkenalkan tentang dasar pemikiran metodologi penemuan atau penetapan hukum Islam yang kuat oleh para ahli hukum, seperti Hasbi Al-Shiddieqy. Hasbi mengembangkan metode analogi deduksi yang memberi kebebasan berijtihad selama berpedoman pada prinsip mewujudkan maslaha dan mempertimbangkan perubahan konteks serta metode komparasi yang mendorong berkembangnya pemikiran berkarakter eklektik.

Landasan pemikiran yang dibangun Hasbi diikuti dan dikembangkan para murid dan penerusnya. Saya memahami bahwa, dengan tanpa harus meninggalkan dasar hukum yang kuat dari sumber-sumber hukum utama, yaitu Quran dan Hadith, untuk menjawab tantangan-tantangan ketidakadilan dalam isu-isu hukum, hukum keluarga Islam, dalam konteks tulisan epilog tersebut, pembaruan harus dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi di sekitarnya.

Dalam konteks inilah, saya kemudian menekankan bahwa pengalaman atau temuan dari kajian-kajian ilmiah bisa dijadikan dasar seperti diterapkan dalam KUPI. Namun, saya selanjutnya menegaskan lagi bahwa perlu perenungan dan kajian lebih komprehensif terkait dengan penggunaan pengalaman atau temuan dalam membuat ketentuan hukum.

Pengalaman sebagai Dasar Pembentukan Hukum: Signifikansi Kajian Ilmiah

Sebuah pengalaman atau temuan tentu bisa dan bahkan harus dijadikan dasar penetapan hukum dan pertimbangan hukum. Namun, kaitannya dengan pembentukan hukum yang berlaku nasional, pengalaman sekelompok masayarakat tertentu tidak serta merta bisa dijadikan sandaran. Dalam kata lain, sebuah pengalaman personal atau bahkan komunitas tertentu secara lokal tidak bisa diambil secara baik untuk dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.

Mungkin, pengalaman seperti ini bisa dijadikan sebagai pertimbangan hukum dalam penyelesaian perkara-perkara yang diselesaikan oleh pengadilan dengan upaya ijtihad mereka dalam menggali kondisi-kondisi para pihak yang berperkara atau masyarakat secara umum dimana pihak berperkara berasal. Ijtihad ini disebut dengan ijtihad aplikatif (ijtihad tathbiqi), yang daya hukumnya mengikat hanya pada pihak berperkara. Diperlukan pendekatan komprehensif dalam kajian praktik hukum yang hasilnya bisa dijadikan sandaran pembentukan hukum yang berlaku secara nasional.

Kaitannya dengan ini, socio-legal studies (kajian hukum dengan pendekatan ilmu social) menemukan peran dan signifikansinya. Artinya, perlu dilakukan kajian-kajian atas hukum (hukum dalam teks dan praktik) dengan pendekatan ilmu sosial. Dari hasil kajian-kajian yang dilakukan dengan pendekatan ilmu sosial tersebut, para pembuat kebijakan mengambil sebuah pemetaan dan kesimpulan terkait kebaikan atau kemaslahatan yang lebih unggul dan kerusakan atas kemadlaratan yang lebih rendah.

Sebuah hasil atau temuan atas praktik hukum Islam dari kajian dengan satu pendekatan, seperti antropologi, tidak bisa serta merta dijadikan sandaran utama penetapan hukum yang akan diberlakukan secara nasional. Begitu juga sebuah temuan atas praktik hukum Islam dari kajian dengan, misalnya, pendekatan jender, tidak secara mandiri dapat langsung dijadikan dasar dan sandaran pengembangan hukum. Diperlukan telisikan atas temuan lain dari kajian dengan pendekatan ilmu sosial lainnya, seperti psikologi, sosiologi, ekonomi, dan lainnya.

Dalam sebuah forum tertentu pengambilan kebijakan hukum, semua temuan dari kajian-kajian dengan pendekatan beragam ini didiskusikan dan disimpulkan. How? Dalam Epilog tersebut, untuk memperjelas poin ini kaitannya dengan signifikansi kajian socio-legal, saya mengambil satu dari tiga isu hukum terkait perempuan yang dimusyawarah-kan di KUPI, yaitu terkait isu pernikahan anak.

Saya memaparkan bagaimana isu ini dikaji dengan pendekatan beragam, dan bagaimana kemudian hasil kajian mengarah pada kesimpulan yang beragam atau tidak berkesesuaian antara satu dengan lain, dan bagaimana kemudian kaidah-kaidah fiqhiyyah relevan untuk membantu kita mengambil satu kesimpulan untuk diakomodir dalam sebuah penetapan hukum.

Berdasarkan invesitigasi saya terhadap beragam kajian terkait nikah di bawah umur, terdapat kesimpulan atau temuan yang beragam. Dengan pendekatan antroplogi, sebuah kajian menyimpulkan bahwa praktik nikah di bawah umur diterima baik oleh maysarakat dan bahkan membantu menyelesaikan permasalahan budaya, rasa malu, aib ke-tua-an dan kesendirian. Dengan kacamata sosiologi, temuan mengarah pada hal yang berbeda, yaitu adanya pengaruh pernikahan di bawah umur terhadap kemiskinan yang berputar terus menerus, meskipun beberapa kajian dengan pendekatan yang sama di wilayah berbeda menghasilkan temuan sebaliknya. Kacamata lain, psikologi, dalam kajian isu tersebut, misalnya, mengarah kepada munculnya ketidakharmonisan dalam keluarga (terutama dalam konteks kini) pernikahan di bawah umur. Adapun, kajian dengan pendekatan jender mempertegas ke-tidak-baik-kan yang tercipta dari praktik pernikahan di bawah umur ini.

Temuan-temuan ini perlu didiskusikan dan kemudian disepakati terkait mana keputusan yang terbaik dalam upaya penetapan ketentuan usia minimum pernikahan. Dengan bantuan alat dan teori hukum Islam, difahami bahwa meskipun terdapat kebaikan dalam praktik nikah di bawah umur, seperti terekam dalam kajian dengan pendekatan antroplogi, ke-tidak-baik-kan disimpulkan lebih besar, dan karena itu, menjadi lebih relevan jika usia minimum pernikahan dinaik-kan.

Dalam tulisan ini saya ingin sedikit menyimpang dari isu hukum keluarga dan mengambil isu hukum lain. Kita ambil isu tarik tambang, misalnya, dalam kaitannya dengan kegiatan perayaan 17 Agustus. Kok jauh sekali? Ini sekedar untuk mengurai cara kerja penetapan hukum yang saya fahami saja. Namun, katakanlah isu ini sedang diperdebatkan status hukum-nya di kalangan Muslim.

Beberapa kalangan memandang bahwa tarik tambang boleh dilakukan dan memberikan manfaat bagi khalayak banyak. Beberapa yang lain mempunyai pandangan berbeda dan menganggap tarik tambang lebih banyak memberikan kemudlaratan. Pandangan ini mengemuka berdasarkan pada kepentingan yang beragam dan pembacaan terhadap fenomena yang ada. Katakanlah bahwa mereka juga mendasarkan pada kajian atau temuan dengan pendekatan yang berbeda. Dengan pendekatan politik, misalnya, para pengkaji menyimpulkan bahwa tarik tambang menyisakan ketidakbaikan. Sementara dengan pendekatan ekonomi, tarik tambang memberikan kebaikan ekonomi bagi masyarakat banyak.

Dengan kacamata sosiologi, tarik tambang disimpulkan memberikan kebaikan juga bagi masyarakat. Temuan ini berbeda dengan temuan kajian dengan pendekatan antropologi dimana tarik tambang akan menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya, meskipun ada aspek kebaikannya kaitannya dengan pelestarian budaya. Para pembuat kebijakan atau pembuat ketentuan hukum tidak bisa melihat hanya satu hasil kajian dengan pendekatan satu bidang ilmu-social di atas. Mereka perlu melakukan pembacaan terhadap hasil kajian-kajian dengan pendekatan lain. Mekanisme berikutnya adalah bahwa mereka memberikan penilaian terhadap temuan tersebut untuk mengambil atau menetapkan sebuah kesimpulan yang memberikan kemaslahatan lebih besar pada masyarakat secara umum. Apakah tarik tambang akan menciptakan kebaikan lebih banyak atau sebaliknya.

Katakanlah kita menilai bahwa dari temuan kajian-kajian di atas bahwa tarik tambang memberikan kebaikan lebih besar daripada keburukan. Diambil sebuah kesimpulan bahwa tarik tambang secara hukum boleh dilakukan. Bisa saja kita simpulkan tidak boleh, tetapi dalam konteks ini, untuk sekedar memberikan contoh cara kerja-nya, kita ambil hukum kebolehannya. Meskipun demikian, yaitu kebolehannya sudah ditetapkan, kita belum berhenti memberikan kesimpulan hukum ketika kita ternyata dihadapkan pada konteks yang spesifik, yaitu konteks pelaku tarik tambang. Artinya, meskipun secara umum tadi disimpulkan bahwa tarik tambang boleh dilakukan, kita perlu membincangkan lagi ketika ada ‘konteks khusus’ dimana pelaku tarik tambang adalah, misalnya, ‘wanita lansia’. Maka, kita harus bincangkan lebih spesifik status hukum tarik tambang bagi para ‘wanita lansia’ tersebut.

Kita sering terjebak dalam menyampaikan pandangan kita dengan hanya melihat konteks umum, seperti kita lihat belakangan ini, sehingga diskusi terkait isu hukum yang spesifik ini menjadi kabur. Untuk menemukan status hukum isu spesifik ini, kita perlu menemukan kajian kaitannya dengan isu hukum tarik tambang oleh ‘wanita lansia’ ini.

Jika kita masih belum menemukan kajian yang spesifik terkait ini, maka kita bisa melakukannya terlebih dahulu. Jika itu tidak mungkin karena keterdesakan waktu, kita perlu menyimak kajian yang mirip atau sejalan dengan isu hukum ini. Kita bisa melakukan analogi kebaikan dan keburukan praktik tarik tambang oleh para ‘wanita lansia’ dari temuan kajian terkait praktik lain yang serupa, yang sifat dan karakternya serupa. Dari sini, kita bisa menyimpulkan dan berargumen dan menetapkan ketentuan hukum-nya, missalnya, ketidak-bolehan-nya.

Signifikansi Kaidah Fiqhiyyah dan Ushuliyah

Apakah temuan ilmiah cukup dalam hal ini? Seperti telah disinggung di atas, sebagai sebuah ketentuan hukum Islam yang akan berlaku bagi masyarakat Muslim, kebijakan hukum yang diambil perlu didasarkan pada argumen hukum Islam dalam fiqh atau ushul fiqh. Mengingat hasil temuan itu beragam dan tentunya dengan mengambil satu pandangan yang dianggap paling memberikan kemaslahatan, pembuat kebijakan masih bisa menyisakan kerugian pada masyarakat tertentu. Kaidah ushuliyah menjadi penting untuk dijadikan sandaran. Perlu sedikit disebutkan bahwa kaidah ushuliyah ini merupakan teori-teori yang disimpulkan dari preskripsi hukum Islam, yang akan menjadi landasan berfikir penemuan hukum (deduktif). Teori maqashid al-syariah, konsep kemaslahatan, dan lainnya menjadi sangat relevan untuk disertakan.

Memang lagi-lagi konsep ini problematik dalam praktik dan berbau kepentingan, dan menimbulkan pertanyaan, seperti, ‘kerusakan atau mafsadah mana yang dimaksud’? atau ‘maslahah siapa yang diambil? yang sangat terkait dengan tipologi konsep maslaha, i.e., ‘maslaha umum’, atau ‘maslaha khusus’. Kita juga bisa terjebak pada konsep ‘maslaha jangka pendek’, dan mengabaikan ‘maslaha jangka panjang’. Kembali ke isu hukum keluarga, yaitu isu poligami, misalnya. Banyak kalangan memandang bahwa dalam poligami terdapat kebaikan atau kemaslahatan bagi perempuan kedua, bagi suami dengan hasrat seksual yang tinggi, dan bagi anak yang dikandung oleh calon istri kedua. Sekilas, ini mungkin relevan. Namun, jika kita mencermati secara komprehensif konsep maslaha dan dampak poligami, maka pertanyaan, ‘tidakkah akan muncul mafsada, yaitu kerusakan jangka panjang dalam diperbolehkannya pernikahan poligami tersebut’, perlu dipertimbangkan. Pertanyaan secara spesifik bisa seperti ini, ‘tidak-kah akan muncul mafsada bagi pihak keluarga pertama kaitannya dengan pemenuhan ekonomi dan ketentraman sebagai kerusakan jangka panjang dari pernikahan poligami’? Jika respon pembelaannya adalah bahwa kerusakan jangka panjang belum bisa dianggap sebagai sesuatu yang pasti terjadi dan tidak dianggap relevan untuk dipertimbangkan, respon baliknya adalah ‘bukankah para pengkaji atau para peneliti sudah menghasilkan banyak temuan terkait dengan dampak negatif yang lebih besar yang ditimbulakn pernikahan poligami’. Meskipun kajian-kajian ini tentu tidak dilakukan terhadap pasangan-pasangan yang akan menikah tersebut, temuan-temuan kajian ini perlu disimak dan dipertimbangkan, dan membuat analogi-analogi yang relevan dari temuan terkait praktik pologami yang telah dilakukan tersebut kepada kejadian yang akan datang.

Untuk memperkuat secara teoritis temuan kajian ini, di sinilah terletak signifikansi dan relevansi kaidah fiqhiyyah, seperti kaidah popular yang misalnya berbunyi, ‘bahwa menghindarkan kerusakan lebih diutamakan ketimbang mengambil maslahah’. Atau jika cara berfikirnya mengarah pada kerusakan juga yang coba dihindari para pembuat keputusan, yaitu kerusakan perzinaan yang dihawatirkan dilakukan oleh calon pasangan poligami, maka konsep kerusakan perlu dicermati lagi. Artinya, perzinaan bisa saja merupakan kerusakan yang sedang dihindari dengan diijinkannya poligami. Namun, kerusakan lain yang bisa muncul dan bahkan lebih serius kadarnya harus lebih dijaga atau dihindarkan, seperti diarahkan oleh kaidah bahwa jika dua kerusakan berbenturan pada satu waktu maka tindakan yang diutamakan adalah mengambil tindakan yang kerugiannya lebih ringan, yaitu menolak poligami. Perlu juga diingatkan lagi di sini, bahwa kaidah fiqhiyyah merupakan teori yang muncul berdasarkan pada praktik yang ada, atau pernyataan yang disimpulkan dari kasus-kasus yang ada (induktif).

Nah, kaitannya dengan isu tarik tambang, pertanyaannya lagi, ‘apakah tarik tambang jikapun secara umum dibolehkan, dibolehkan juga-kah jika dilakukan oleh wanita lansia’? Jikapun ada manfaatnya, maka kerugian, jika memang akan diduga atau bahkan pasti muncul, harus dihindarikan, dan karenanya hukum ‘tarik tambang’ adalah tidak boleh. Tidak ada lagi pertanyaan khusus, seperti ‘apakah tarik tambang bisa dilakukan oleh wanita lansia’, dalam konteks dimana secara umum disimpulkan bahwa tarik tambang tidak dibolehkan. Dengan kata lain, jika hukum ‘tarik tambang’ hukumnya secara umum adalah tidak boleh karena mengandung banyak kerusakan, maka tidak ada lagi pertanyaan turunan apakah praktik itu boleh dilakukan oleh sekelompok orang A, B, dan C?

Referensi

Euis Nurlaelawati, ‘Mengkaji Ulang Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia: Negara, Agama, dan Keadilan dalam Keluarga, disampaikan sebagai Pidato Pengukuhan Guru Besar di hadapan Sidang Senat Universitas Islam Negeri Jogjakarta, 4 Oktober 2018.

John L. Esposito, Women in Muslim Family Law, (New York:  Syracuse University Press, 2001), 51-61.

Adriaan Bedner, (eds), Kajian Sosio-Legal, (terjemahan oleh Tristam Moelyono), Bali: Pustaka Larasan, 2012.